Dilema uang 7 Ribu (PR Bahasa Indonesia)

Senin, 01 Oktober 2012


“ Sekarang udah akhir bulan, mama cuma bisa ngasih segini buat bekel kamu hari ini.” ucap mama padaku yang saat itu sedang memakai sepatu sembari memberikanku selembar uang lima ribuan dan selembar uang 2 ribu. Aku hanya bisa terdiam, kalaupun aku mengeluh atas bekalku aku berdosa. Jadi akhirnya aku putuskan untuk coba menerima.
“Tapi ma, bensin motorku abis, dari kemaren belum sempet aku isi.” Ucapku yang tiba-tiba teringat pada jarum indicator bensin di motor.
“Mama cuma uang segitu, kamu coba cukup-cukupin aja ya!” tumpas mama dengan lembut, sambil menunjukkan isi dometnya yang memang kosong.
“Oh yaudah ma gapapa. insyaAllah cukup ko ini!” aku berusaha membuat diriku tegar dengan senyuman yang kuukir di wajah. Melihat wajah mama yang kemudian berseri padaku membuat aku sekejap melupakan hal kecil yang baru saja mengganjal pikiranku.
“Lagian ini cuma hal kecil, kan ga lucu juga kalo aku dosa cumin gara-gara ngeluhin bekel doang…” ucapku dalam hati sambil terus menghibur diriku sendiri.
Setelah dua pasang sepatu hitam terpasang di kakiku, aku segera berangkat dan berpamitan mengingat hari itu aku harus datang lebih awal ke sekolah.
Tetapi, sepanjang jalan dilema uang 7 ribu itu hadir lagi seakan mengguncang hati dan pikiranku. Teringat bensin yang sudah harus segera aku isi, aku memikirkandan memperhitungkan bagaimana caranya agar uang 7 ribu itu cukup.
“5 ribu ya mba!” seruku pada seorang pegawai SPBU. Tidak lama setelah mengisi bensin, aku merasa ada yang aneh pada skuter matikku. Akupun segera turun dan mengecek apa yang terjadi. Dan ternyata ya subhanAllah, banku kehabisan angin.
Akupun mengunjungi tempat tambal ban, untungnya tidak begitu jauh daai pemberhentianku. Akhirnya, aku harus membayar 1 ribu rupiah untuk jasa peniupan angin ban motorku.
“Tinggal seribu lagi! Semoga bisa berguna dengan sebaik-baiknya ya Allah!” doaku pagi itu.
Biasanya, uang 7 ribu cukup. Aku bisa makan di kantin, bahkan menabungkan sisanya. Tapi 7 ribu kali ini berbeda. Jangankan untuk menabung, membeli air the manis saja tidak mencukupi.
Setelah sampai di sekolah, aku langsung menuju kelas. Belum juga aku menyimpan tas dan mengistirahatkan sejenak badanku, temanku menghampiriku sambil meminta “Lika, aku minta iuran buat materi presentasi ya, maaf!” Dengan senyuman akupun menjawab pertanyaan “Iurannya berapa An?”
“Seribu aja li, cuma 10 lembar ko!” jawab temanku yag bernama Ani itu. Aku segera mengambil uang seribu yang tersisa di saku seragamku. Habislah uang 7 ribuku itu. Kabar baiknya, aku tidak usah memikirkan uang itu lagi. “Tapi bagaimana cara makan istirahat nanti?” pikirku. Kalaupun aku membiarkan perutku kelaparan, aku berarti menyiksa diri sendiri dan aku berdoa atas itu. Lagi pula, aku memang mimiliki sakit maag yang mengharuskan aku makan jika aku lapar, kalau tidak rasa sakit yang luar biasa ang akan aku dapat.
Jam ke-3 tepatna pukul 09.30 guru mata pelajaran saat itu berhalangan hadir dan hanya membei kami tugas. Karena itulah, aku bergegas pergi ke mesjid dengan membawa mukena berwarna ungu kesayanganku. Kudirikan shalat dhuha hingga 6 rakaat, karena ada salah satu temanku memanggil dan memintaku untuk ikut dengannya.
 “kita mau kemana Za?” tanyaku pada Zahra yang sangay terburu-buru. “Kita disuruh ke kantin. Semua anak di kelas pada ke kantin.” Jawab Zahra sambil menuntun tanganku.
Terlihat ramai sekali di kantin, semua nak di kelasku tumpah ruah disana. Akupun mencari-cari informasi pa penyebab keramaian ini.
“Dinda sekarang ulang tahun. Makanya neraktir kita semua!” ungkap salah satu temanku yang sudah mengambil satu porsi makann. Akupun ditawari dan dengan senang hati aku terima.
“Allah memang Maha Mengetahui. Dia Mengetahui yang aku butuhkan, Allah memberiku kebutuhan itu walaupun tidak sesuai dengan keinginan.” Syukurku.
Uang  ribu itu tidak banyak, tapi jika menggunakannya dengan niat yang baik terasa besar sekali maknanya. Bersyukur memang indah, sesulit apapun yang disyukuri.