“Ayah,kenapa perang di negeri kita tak kunjung usai, kapan kita bisa kembali ke negeri kita?”
Pertanyaan ini terlontar dari lisanku, ketika itu usiaku baru 4 tahun. Mulut Ayah yang tadinya begitu fokus menceritakan kisah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam yang memiliki nama sama denganku “Umar”, terhenti. Ayah diam sejenak sembari mamandangi wajah luguku dengan tatapan kasih sayang.
“Ketahuilah anakku, negeri ini juga negeri kita, negeri yang diberkati. Di langitnya para malaikat membentangkan sayapnya dan di tanahnya para utusan-utusan Tuhan yang membawa pesan langit dalam tiga agama besar berkelana menyampaikan pesan suci dari Sang Pemilik Kehidupan,” Sejenak Ayah kembali diam, dengan memandangi mataku yang begitu antusias menerima jawaban yang akan diberikannya.
“Bukan hanya sekarang saja perang ini tersulut wahai anakku, tapi jauh sebelum Khilafah Islamiyah diruntuhkan, bangsa-bangsa lain juga sudah berusaha untuk merebut negeri kita. Umar bin Khathtab Radiallahu‘anhu dahulunya pernah kembali membebaskannya, kemudian beliau mempersaudarakan seluruh umat di negeri itu. Oleh sebab itulah ayah memberimu nama Umar, Ayah ingin engkau seperti beliau, yang dengan ilmumu dan rasa cinta di hatimu kelak engkau akan membebaskan saudara-saudari kita di Al-Quds serta mempersaudarakan umat ini dalam bingkai Daulah Islam.”
Hatiku teriris perih, tiada sanggup kubendung linangan air mata yang membasahi pipi ini, tatkala aku teringat pesan dari Ayah tersebut. Sementara kini aku hanya mampu duduk diam tanpa berbuat apa-apa, apakah mungkin tanganku ini akan membebaskan tanah asalku dan mempersatukan umat ini dalam Daulah Islam?
Umar ibnu Ahmad, orang-orang biasa memanggilku demikian, kini aku telah berumur 16 tahun. Ahmad adalah nama ayahku, beliau adalah seorang aktivis salah satu harokah Islam yang begitu lantang menyampaikan pesan-pesan suci dari langit. Aku begitu mengagumi ayahku, semangatnya selalu berkobar dalam jalan dakwah baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Dan sebagai kepala keluarga beliau adalah orang yang sangat bertanggung jawab dan penyayang.
***
Hidup di negeri yang kesehariannya selalu diwarnai dengan berbagai konflik dan tekanan yang tiada henti, kurasakan begitu menyesakkan dada, tidak mudah. Ayahla hyang menjadi panutan kami dan yang selama ini mampu membuat kami bertahan hingga kami tumbuh layaknya anak-anak yang hidup dalam kondisi normal, kami merasa beruntung memiliki Ayah sepertinya.
Ayah, Ibu dan kakakku lahir di tanah Palestina, aku dan adikku yang kini berusia 5 tahun lahir di negeri ini. Peristiwa pencaplokan tanah yang telah terjadi puluhan tahun di Palestina, juga berdampak pada keluargaku. Ayahku pernah bercerita, puluhan tahun yang lalu pasukan-pasukan militer penjajah menghabisi pemukiman warga di tempat mereka tinggal tanpa rasa belas kasihan, ketika itu aku dan adikku belumlah lahir, kakakku yang bernama Sobri ketika itu baru berumur 3 tahun. Pada saat peristiwa itu terjadi kakek dan nenekku adalah salah satu dari sekian banyaknya korban kebiadaban manusia-manusia hina yang disebut sebagai bangsa kera itu.
Di akhir hayatnya kakek berpesan kepada ayah “Pergilah dari negeri ini, cari negeri yang aman, bina dan didik anak-anakmu di jalan kemuliaan. Bila kelak waktunya tiba,InsyaAllah mereka akan menjadi pembebas negeri ini”.
Permintaan terakhir dari kakek dan nenekku itu memaksa ayah untuk mengajak ibu dan kakakku mengungsi ke negeri Syam lainnya, dan memilih tanah Suriah dengan harapan di negeri ini akan menemukan ketentraman hidup. Namun,ternyata kondisinya tidak jauh berbeda. Kondisi di negeri ini justru terasa lebih pelik, jika di Palestina saudara-saudariku disana menghadapi musuh yang nyata, disini kami justru sangat sukar untuk membedakan mana lawan dan kawan. Dinegeri inilah ayah bergabung dengan harokah dakwah dan memulai aktifitas dakwah globalnya, untuk menyerukan umat kembali bersatu dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Hingga pada akhirnya, tulang punggung dalam kehidupan kami itu pergi untuk selama-lamanya.
Masih terekam jelas dalam ingatanku, ketika itu langit merah saga menjadi saksi kepergiannya. Di depan mataku ayah ditembak oleh tentara pemimpin diktator negeri ini, mereka bilang “Ayahku adalah seorang teroris yang mengancam stabilitas dan keamanan negeri.” Saat peristiwa itu terjadi aku adalah seorang remaja yang berumur 11 tahun yang bagitu berharap perhatian dan kasih sayang dari seorang ayah, dan Ibuku tengah mengandung adikku yang bernama Az Zahrah yang kini berusia 5 tahun.
Meski terlahir sebagai anak yatim, Az Zahrah tetap tumbuh menjadi seorang anak yang ceria, wajah mungilnya memberikan kehangatan tersendiri di keluarga kami. Ibu berusaha sebaik mungkin mendidiknya menjadi gadis kecil yang sholehah. Kami semua berharap kelak dia tumbuh seperti namanya yang merupakan gelar dari salah seorang putri Rasulullah Shallallahu‘alayhi wa Sallam yaitu Fatimah Radiallahu‘anha yang menjadi perempuan tauladan bagi ibuku.
Layaknya anak kecil yang masih lugu, dengan menyaksikan teman-teman sebayanya yang masih memiliki seorang ayah, adikku pernah bertanya kepada ibu
“Ibu, Ayahnya Zahrah pergi kemana?”
“Ayah Zahrah kini sedang berada di Surga Allah.” Jawab ibuku, seraya menyembunyikan kesedihan dihatinya.
“Surga itu apa, Ibu?” Tanyanya kembali dengan lugu.
“Surga itu adalah suatu tempat yang indah dari dunia ini yang dihadiahkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya yang sholeh dan sholehah, disana Ayah bisa minta apa aja sama Allah”. Jelas ibu dengan sabar.
“Ibu, Zahrah ingin bertemu dengan Ayah, kenapa Ayah tidak minta sama Allah untuk berjumpa sama Zahrah? Ibu apakah Ayah tidak ingin bertemu dengan Zahrah?”suaranya lemah memelas penuh harap.
“Zahrah sayang…Ayah juga rindu sama Zahrah, tapi Ayah tidak bisa berjumpa sama Zahrah karena tempat kita telah berbeda. Kalau Zahrah mau jumpa sama Ayah, Zahrah harus jadi anak yang sholehah yaaa… ” Balas ibu mencoba meyakinkan dan menenangkan adikku.
Beberapa waktu yang lalu, ketika kami sedang makan malam, Zahrah tiba-tiba bertanya kepadaku, “Kakak, kak Sobri pergi kemana. Kenapa dia jarang pulang ke rumah?” Semenjak ayah meninggal dunia, kakakku Sobri memang jarang berada di rumah berkumpul bersama kami. Ketika terjadi peristiwa pengeboman di Palestina pada malam tahun baru hijiriah lalu. Kakakku memutuskan untuk memenuhi panggilan Jihad para ulama untuk memberikan perlawanan kepada tentara-tentara kera laknatullah. Dia hanya pulang beberapa waktu selama empat bulan sekali. Aku juga ingat pesan yang ditinggalkannya untukku.
“Jaga ibu dan adik kita. Kakak tahu usiamu masih begitu kecil, tapi kakak juga tahu engkau anak yang cerdas. Kakak yakin engkau bisa mengambil peran seorang ayah untuk menggantikan kakak”. Ketika itu aku hanya diam tanpa bahasa menerima amanah yang ditinggalkannya.
“Kakak kita, sedang pergi berjuang untuk menegakkan kalimah Allah. Dia tengah menyambut seruan mulia dengan melakukan jihad, untuk membebaskan negeri asa lkita Palestina”. Jawabku atas pertanyaan yang dilantunkan oleh Zahrah sambil memegangi lembut pipinya. Aku pandangi matanya yang berbinar kerinduan dalam rupa wajah nan lugu.
“Jihad itu apa kak? Zahrah sering mendengar kata-kata itu, tapi Zahrah tidak mengerti maksudnya apa, orang-orang dewasa yang Zahrah lihat di jalanan kini sering berteriak-teriak, Wahai kaum muslimin… Wahai generasi pembaharu… Seruan jihad telah memanggil-manggil nama kita, tidak saatnya berpangku tangan, waktu untuk tidur telah hAyahs.” Balasnya spontan sembari mencontohkan ekspresi mereka yang menyeruhkan Jihad di jalanan kota yang kini kian santer dikumandangkan. Aku terhenyak, dadaku sesak, hatiku pilu.
“Yaaa Allah jawaban apa yang harus aku berikan kepada adikku ini. Apakah anak sekecil ini harus aku beritahukan dengan terus terang mengenai perkara agama-Mu yang kian ruwet ini?”
“Zahrah anak Ibu yang cantik… Jihad itu adalah salah satu jalan untuk bertemu dengan Allah.” Ibuku menimpali.
“Berarti kak Sobri kini sedang pergi menuju ke tempat Ayah dong, Ibu? Zahrah juga ingin pergi berjihad, biar bisa ketemu sama Allah dan Ayah.” Balasnya dengan semangat.
“Iyaaa…anak Ibu yang pintar, tapi Zahrah harus mesti menjadi anak besar dan dewasa dulu seperti kak Sobri dan kak Umar. Zahrah juga mesti jadi anak yang kuat, sehat dan pintar. Jadi makannya harus banyak”.
Ibuku mencoba membujuk adikku, yang dalam beberapa hari ini nafsu makannya menurun karena sedang demam. Dua tahun setelah kepergian ayah, negeri ini memang bertambah kacau, si tangan besi yang memegang tampuk kekuasaan di negeri ini semakin merajalela dan berbuataniaya terhadap orang-orang yang bersilang pendapat dengannya, terutama para aktivis Islam. Penyelewengan-penyelewengan beberapa isi Al Qur’an dan ajaran Islam juga dilakukannya. Para ulama akhirnya tidak tinggal diam, hingga meletuslah perang di negeri ini.
Semula perang ini hanya berupa bentuk perlawanan atas pendzoliman penguasa terhadap rakyatnya. Akan tetapi, seiring waktu kisah yang semula hanya berupa tuntutan pergantian rezim itu, akhirnya berubah alur cerita menjadi Revolusi Islam. Hal ini juga dipengaruhi oleh beberapa peristiwa pergantian rezim yang belakangan ini santer terjadi di beberapa negeri Islam dan seruan dari harokah yang dahulunya juga dilakoni oleh ayahku. Karena dengan melihat kenyataan yang ada, pergantian rezim itu tidaklah membuahkan hasil seperti yang diinginkan, dan jauh hari ayahku juga bilang, negeri kita ini diatur oleh sistem kufur bukan sistem Islam.
Tiga tahun telah berlalu, semenjak revolusi Islam ini dikumandangkan, seruan jihad tiada henti dilantunkan oleh para ulama di dalam setiap kesempatan dakwahnya. Bukan hanya ulama di negeri ini, tapi juga oleh ulama-ulama saudara-saudari muslimku di seluruh penjuru dunia. Mendengar seruan mulia ini telah menggema, mereka dari berbagai wilayah danseluruh penjuru negeripun berhamburan ke negeri ini untuk menyambut seruan mulia itu dengan suka cita. Mereka berkata “Saatnya kita berpesta. Panggung jihad telah membahana dan Khilafah telah didepan mata. Tanah surga telah membentang dan menunggu jiwa-jiwa kita yang lelah karena telah terlalu lama terdiam dan membisu tanpa arah” Kudengarkan kabar dari beberapa para mujahidin, kakakku yang semula berjihad di Palestina pun akan segera bergabung ke negeri ini. Semangatku membara, bara yang semula tertutupi oleh debu-debu ketakutan itu kini terbakar menyala. Aku meminta izin kepada ibuku, semula beliau merasa berat hati untuk melepaskan kepergianku, namun setelah melihat keyakinan dan keteguhan tekadku beliaupun akhirnya merestuiku.
“Wahai ummi yang kucintai dirimu karena Allah. Dengan rasa cintamu terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dengan kuatnya dirimu memegang amanah dari Ayah untuk membesarkan kami dengan risalah dari Allah dan apa yang selama ini ummi berikan dan ajarkan kepadaku. Sungguh ketika pertama kali aku berpikir secara matang hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk berangkat berjihad bersama mereka yang kini tengah mencium bau surga disetiap helaan nafasnya di udara dingin yang berhembus diluar sana. Aku ingin ummi berkata seperti seorang ibu yang merelakan dan merestui anaknya, tatkala Muaz bin Amr yang ketika itu baru berusia 14 tahun yang lebih muda dari usiaku 2 tahun dan Muawwizbin Afra yang baru berusia 13 tahun yang jauh lebih muda dariku 3 tahun itu meminta izin kepada ibunya untuk turut serta berjihad bersama Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam untuk membunuh Abu Jahal.
Ibu-ibu mereka berkata “Pergilah nak, janganlah engkau pulang sebelum memenggal lehernya dengan tanganmu. Sungguh demi Allah .kematianmu di jalan Allah itu lebih aku inginkan dari pada dunia dan seisinya.” Bibir Ibuku bergetar seraya mengusap air mata dipipinya, dia merangkulku untukmemeluk tubuhku. Diusapnya rambutku seraya berkata…
“Astaghfirullah…Demi Allah ummi telah melihat kekokohan hatimu dan tegarnya pendirianmu. Kehidupan yang keras ini telah membuatmu jauh lebih dewasa dari kebanyakan manusia seusiamu. Ummi tidak mempunyai alasan lain lagi untuk menahanmu. Pergilah anakku…pergilah…sambutlah seruan mulia itu…Tunaikan amanah dari ayahmu, raih kemuliaan Islam melalui tanganmu, persatukan kami dalam ikatan ukhuwah dalam bingkai Daulah Islam!”
“Ummi…kakak mau pergi ke jalan menuju Allah yaaa. Kenapa ummi menangis bukankah nanti kakak bisa berjumpa dengan Allah dan juga bertemu dengan ayah?” Zahrah tiba-tiba keluar dari kamar dan menghentikan drama keharuan akan keberangkatanku.
“Iya adek. Kakak akan berangkat menuju kejalan Allah.” Kupegangi bahu adikku dengan posisi jongkok dihadapannya.
“Kalau begitu, Zahrah titip surat untuk Allah yaaa… sampaikan pada Allah, Zahrah rindu sama ayah” Adikku memberikan sepotong kertas yang telah dilipatnya. Kuambil kertas itu kumasukan didalam saku celanaku. Ku hanturkan senyuman terindah kepadanya. Tanpa sengaja kulihat jam di arlojiku telah menunjukan waktu sholat jum’at akan datang sebentar lagi. Aku pamit kepada ibu dan adikku untuk menunaikan sholat jum’at yang berada sedikit jauh didalam hutan. Untuk diketahui selama Revolusi ini berlangsung kami tidak pernah lagi sholat berjamaah di Masjid, karena Masjid kini menjadi salah satu tempat yang rawan dijadikan target penyerangan bagi tentara-tentara thogut negeri ini. Disanalah nanti aku akanbergabung dengan teman-teman baruku, yakni para tentara Allah.
***
A_D
>>>
Bersambung di Part 2
Pernah Dimuat di MedanDakwah.com
0 komentar:
Posting Komentar